Selasa, 18 Februari 2014

Betapa istimewanya umat Nabi Muhammad SAW.



Kita adalah umat yang paling beruntung di antara umat nabi-nabi lain. Di antara tanda-tanda keberuntungan itu adalah dengan memiliki Rasulullah Muhammad Saw. Ya, Rasulullah adalah mahluk paling istimewa yang pernah diciptakan Allah. Rasulullah diciptakan pertama kali sebelum Allah menciptakan mahluk apa pun di dunia ini. Bahkan, jika Rasulullah tak diciptakan, ada kemungkinan kita juga tak diciptakan oleh-Nya.




Dikisahkan bahwa setelah melakukan kesalahan berupa memakan buah khuldi bersama hawa, Nabi Adam As meratap pada Allah, mengakui seluruh dosa-dosanya, dan memohon ampunan pada Allah Swt.




"Tuhanku, aku memohon kepada-Mu atas nama Muhammad Saw, tidakah Engkau berkenan mengampuniku? " Nabi Adam As meratapi kesalahannya dan memohon ampunan dengan mengatasnamakan Nabi Muhammad Saw, sang Nabi akhir zaman.

Allah Swt berfirman, "Hai Adam, dari mana kau tahu nama Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya. Aku juga belum pernah menyebutkan nama itu di depanmu?"




Serta merta Nabi Adam berujar, "Tuhanku, memang benar aku belum pernah mendengar namanya, apalagi bertemunya. Aku juga bukan orang yang tahu tentang banyak hal karana hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui. Namun, setelah Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Kau tiupkan ruh-Mu kepadaku, aku angkat kepalaku, dan aku melihat sebuah perasasti di atas tiang-tiang penyangga 'Arsy, dimana di sana terdapat sebuah tulisan besar La ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah, tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad Rasulullah."




Lalu aku tahu, tentu nama yang Engkau sandingkan di sisi-Mu itu adalah nama makhluk yang Engkau cintai. Maka, aku meyakini dengan sepenuh hati bahwa Muhammad Saw adalah kekasih-Mu sehingga aku yakin, dengan memohon atas namanya, Engkau akan mengampuniku," ratap Nabi Adam As.




"Engkau benar, Adam. Muhammad adalah makhluk terkasih-Ku. Karena kau memohon ampunan atas namanya maka Aku mengampunimu," firman Allah kemudian.

"Dan ketahuilah, jika tidak karena Muhammad kekasih-Ku itu, Aku tidak akan menciptakanmu."




Di sebutkan bahwa Nabi Adam AS telah berkata, "sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW 4 kemuliaan yang tidak di berikan kepada umat yang lain :




1. Tobatku hanya di terima di kota mekah sedangkan tobat umat Nabi Muhammad Saw di terima di semua tempat oleh Allah.

2. Pada mulanya aku berpakaian tetapi apa bila aku berbuat durhaka maka Allah telah menjadikan aku telanjang sedangkan umat Nabi Muhammad Saw membuat durhaka dengan telanjang tetapi Allah memberikan mereka pakaian.

3. Ketika aku telah berdurhaka kepada Allah, maka Allah telah memisahkan aku dengan istriku tetapi umat Nabi Muhammad Saw durhaka tidak di pisahkan dari istri mereka.

4. Memang benar aku durhaka kepada Allah dalam surga dan aku di keluarkan dari surga tetapi umat Nabi Muhammad durhaka kepada Allah akan di masukkan ke dalam surga apabila mereka bertobat kepada Allah.




ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAIYIDINNA MUHAMMAD




Semoga kita termasuk umat yang dirindukan Rasulullah SAW yang selalu tetap istiqamah mengikuti dan mengamalkan Sunnah - Sunnah Beliau. Aamiin.

Jumat, 07 Februari 2014

KESALAHAN KAUM WAHHABI DALAM MEMAHAMI BID’AH











Penting Buat Kaum Wahabi: Segera Menyadari Kesalahan Dalam Memahami Bid’ah






Bismillaahirrohmaanirrohiim…, Alhamdu lillahi rabbil alamiin…, Allohumma sholli ala sayyidina Muhammad wa alihi wa ashabihi ajma’iin….alhamdulillah dengan rahmat Allah dan hidayah-NYA,berikut akan kami tunjukkan kesalahan “kaum wahhabi” dalam memahami permasalahan bid’ah. Walaupun mereka selalu mengklaim sebagai kebenaran satu-satunya dan merasa telah mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi, akan tetapi kenyataannya mereka hanya “OMDO” atau omong doang, berikut ini adalah buktinya:






1. Mereka tidak memperdulikan perkataan yang sangat masyhur dari Sahabat Umar: “Ni’matul bid’atu hadzihi” (alangkah bagus bid’ah ini). Di sini sangat jelas Sayyidian Umar memuji bid’ah (Sholat Tarawih Berjamaah sebulan penuh) sebagai kebaikan, ini sekaligus mencerminkan sejelas-jelasnya tentang adanya bid’ah yang baik (hasanah). Jika kaum Wahabi mengingkarinya sebagaimana yang mereka telah pertontonkan selama ini, apakah masih pantas mereka menyebut dirinya sebagai PENGIKUT PEMAHAMAN SAHABAT NABI?






2. Mereka tidak berani jujur dalam mengartikan kata “kullu” dalam hadits “KULLU BID’ATIN DHOLALAH….”. Sebaliknya mereka memaksakan arti “kullu” hanya satu macam arti yaitu “setiap/semua”. Padahal arti “kullu” itu ada dua sesuai kontek kalimat, yaitu : “setiap/semua” dan “sebagian”. Jadi menurut arti yang benar berkaitan hadits tersebut adalah “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT….. DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA”. Maka jelaslah maksudnya bahwa yang masuk neraka adalah setiap kesesatan dan bukan setiap bid’ah sebagaimana anggapan kaum Wahabi. Sebab menurut Sayyidina Umar ternyata ada bid’ah yang baik, dan bid’ah yang baik tentunya akan mendapat pahala berupa kenikmatan surga.






Bagi para penuntut ilmu yang mempelajari ilmu mathiq di pesantren Salafiyyah,bahwa menurut istilah ilmu manthiq arti kata KULLU sudah sangat dimaklumi pengertiannya, yaitu:






1- Ada kata “kullu” yang berarti “setiap/tiap-tiap/semua″ ini disebut “kullu kulliyah”






2- Ada kata “kullu” yang berarti “sebagian” yang disebut “kullu kully”






Sebagai contoh “kullu kulliyah”, adalah firman Allah dalam salah satu ayat Al Qur’an: “Kullu nafsin dzaa’iqotul maut” yang artinya “setiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Kata KULLU dalam ayat tersebut sangat tepat diartikan “SETIAP” dan akan menjadi salah jika diartikan “SEBAGIAN” karena faktannya memang semua/setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Demikianlah, kita tidak bisa mengartikan secara serampangan sehingga memaksakan arti yang nantinya akan menimbulkan kontra dengan fakta.






Adapun sebagai contoh “kullu kully”, adalah firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air SEBAGIAN makhluk hidup”. Dalam ayat ini kalau kata “kulla syai’in” diartikan “setiap/semua” maka akan kontra (bertentangan) dengan kenyataan bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air. Ada makhluk yang dijadikan dari cahaya seperti malaikat, dan ada yang dijadikan dari api; contohnya jin juga syetan dijadikan dari api. Sebagaimana firman Allah: “wa kholaqol jaanna min maarijin min naar” yang artinya “Dan Allah telah menjadikan jin itu dari api”






Dari uraian di atas maka sudah jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “setiap/semua″ dan “sebagian”. Dalam mengartikan “KULLU” tidak bisa serampangan begitu saja, tetapi harus melihat kontek kalimatnya agar nantinya tidak menjadi kontra dengan realitas, fakta atau kenyataan yang ada.






Oleh karena itu menjadi sangat mengherankan apa yang selama ini diperlihatkan oleh kaum wahhabi yang bangga dengan kesalahan dalam mengartikan “kullu” tanpa melihat kontek kalimat, sehingga mereka memaksakan arti “setiap/semua” untuk kata KULLU dalam hadits BID’AH tersebut. Sehingga mereka ngotot menggunakan dalil “kullu bid’atin dlolalah” sebagai alat untuk membid’ahkan (baca: mengharamkan) apa saja yang tidak ada contohnya dari Nabi. Ini karena mereka menganggap semua/setiap bid’ah itu sesat tanpa kecuali. Tentunya ini kontra dengan kenyataan dan realitas bahwa ternyata ada bid’ah (hal baru) yang baik (hasanah). Sampai-sampai sayyidina memuji bid’ah “NI’MATUL BID’ATU HADZIHI; alangkah bagus bid’ah ini”.






Beberapa Kesalahan Kaum Wahhabi yang Lainnya






Benar-benar sudah masyhur tersebar di kalangan kaum wahhabi bahwa “bid’ah” itu hanyalah ada pada urusan “ibadah”. Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid’ahnya. Mereka selalu mengatakan bahwa: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi. Gara-gara anggapan seperti itu mereka lupa bahwa berdo’a itu adalah termasuk ibadah, dan di dalam berdo’a tentunya kita bisa ngarang sendiri, menciptakan sendiri dengan bahasa sendiri. Baru satu contoh ini saja kaidah mereka menjadi runtuh sebab kontra dengan kenyataan bahwa ibadah berdo’a itu kita bisa menciptakannya sendiri.






Adapun urusan “selain ibadah”, kata kaum wahhabi bolehlah berubah menurut keadaan zaman. Untuk mendukung anggapan ini mereka mengaplikasikan hadits Nabi saw: “Jika ada soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”.






Dipandang secara dangkal dan sepintas lalu anggapan Wahhabi ini seperti benar. Tetapi anggapan ini sesungguhnya adalah salah, hal ini karena:






1- ”Bid’ah” itu selain dalam urusan “ibadah” kenyataannya juga terdapat di dalam urusan mu’amalah(pergaulan masyarakat) seperti: pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama, baik yang bersifat hiburan atau komersil. Juga terdapat banyak contoh dalam kasus-kasus yang bersifat mu’amalah.






2- Sebenarnya yang menjadi sasaran hadits Nabi di atas adalah bukan mengenai “Bid’ah” melainkan mengenai “hukum agama/syari’at” dan “hal-hal dunyawiyyah yang bersifat teknis”. Dalam hal teknis dunyawiyah, kita dianggap lebih tahu oleh Nabi Saw.






Sebagai contoh:






- Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus bersumber dari Qur’an dan sunnah. Sedang teknik pembangunannya adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan kepada ummat, terserah menurut perkembangan peradaban manusia.






- Hukum pertanian agar hasil-hasilnya menjadi halal atau haram adalah urusan agama. Ini harus bersumber dari Qur’an atau Sunnah. Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia, terserah kepada kita boleh mengikuti perkembangan teknologi saat ini. Demikianlah kita dipandang lebih tahu urusan teknisnya oleh Nabi dalam hadits tersebut.






Di dalam pemahaman seperti inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Samasekali bukan seperti dalam pemahaman “kaum wahhabi” di atas, sehingga mereka dengan ngawur mengatakan bid’ah itu hanya ada dalam urusan agama, tentunya hal ini tidak nyambung dengan yang dimaksud Nabi dalam sabdanya tersebut.






Kesalahan kaum wahhabi selain yang sudah dicontohkan di atas, adalah mereka menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu macam yang mana semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal faktanya tidak demikian menurut ilmu yang benar. Bahwa yang benar “ibadah” itu ada dua macam, yaitu:






1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat) atau biasa disebut juga sebagai ibadah mahdhoh,contohnya seperti:






- Sholat wajib 5 waktu






- Zakat wajib






- Puasa Ramadhan






- Haji, dsb…..






Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan-aturan tertentu. Tidak boleh dirubah.






2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh), atau biasa juga disebut ibadah Ghoiru Mahdhoh, seperti contoh:






- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT






- Tafakkur tentang makhluk Allah






- Belajar atau Mengajar ilmu agama






- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)






- dan masih banyak sekali contohnya….






Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. dalam beberapa hal, sedang mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tidak diikat dengan aturan-aturan tertentu, terserah kepada ummat, asal tidak melanggar garis-garis pokok “Syari’at Islam”. Pada ibadah muthlaqoh (ghoiru mahdhoh) inilah terbuka peluang akan terjadi “bid’ah hasanah”. Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama’ah yang jelas bertentangan dengan pemahaman “kaum wahhabi”.
Sebelum mengahiri penjelasan mengenai bid’ah ini, sebagai tambahan akan kami berikan contoh-contoh bid’ah hasanah:

- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang sebelumnya terpisah-pisah menjadi kitab (mushaf) yang tertib diawali dengan Fatihah dan diakhiri dengan an-Naas. Kita tahu dalam sejarahnya sempat terjadi ketegangan di antara sahabat-sahabat Nabi karena pengumpulan Al Qur’an ini dianggap bid’ah oleh mereka. Tetapi akhirnya dikumpulkan juga menjadi satu kitab sehingga kita di zaman ini bisa menikmati baca Al Qur’an. Ini berkat tindakan nekad para sahabat dalam melaksanakan bid’ah hasanah.

- Memberi titik-titik dan syakal pada tulisan Al Qur’an. Sebagaimana dimaklumi Al Qur’an pada masa Nabi saw tidak ada titik dan syakalnya.  Dengan diberinya titik dan syakal maka sekarang kita bisa membacanya dengan mudah. Coba bayangkan seandainya tidak diberi syakal dan titik, pastilah akan repot dan bahkan sulit membaca Al Qur’an. Berkat pelaksanaan bid’ah hasnah maka sekarang membaca Al Qur’an bisa menjadi lebih mudah.

- Membuat istilah-istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. Pada masa Nabi ini juga tidak ada, tetapi berkat pelaksanaan bid’ah hasanah maka kita bisa mengenali macam-macam hadits. Tentunya para ulama dalam membuat istilah-istilah tsb diniatkan ibadah, bahkan Imam Bukhori selalu sholat dua rokaat setiap akan menulis hadits. Ini tidak ada contohnya dari Nabi saw.

- Mengajar/belajar agama di Madrasah-madrasah secara klasikal (ber-kelas-kelas) dan bertingkat-tingkat dari dasar, menengah sampai universitas. Ibadah menuntut ilmu semacam ini tidak ada di zaman Nabi dan Sahabat.

- Peringatan Maulid Nabi saw dalam segala bentuk yang tidak bertentangan dengan garis-garis syari’ah Islam, ini juga bid’ah hasanah.

Demikianlah penjelasan dari saya sejak awal tulisan hingga akhir semoga bermanfaat dan ku akhiri dengan do’a semoga kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan paham kaum wahhabi ini sampai akhir hayat nanti….  Sedangkan bagi kaum Wahabi betapa pentingnya bagi kalian segera menyadari kesalahan-kesalahan anda dalam memahami bid’ah. Karena akibat kesalahan dalam memahami bid’ah bisa menyebabkan tersebarnya fitnah terhadap ajaran Islam dan para Ulama juga kaum muslimin.

Semoga Allah menurunkan hidayah-NYA kepada kita semua…. Aamiin Allaahumma Aamiin.


Wa Shallallahu ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa ashabihi ajma’iin, Walhamdulillaahirobbil’aalamiin….