Rabu, 16 Mei 2012

Hikayat Kolam Sufi tentang Hakikat Kebahagiaan

Dalam sebuah perjalanan jauh yang pernah dilakukan seorang pemuda, dia tiba di perkampungan para sufi. Sufi adalah orang-orang yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal lain. Memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung.

Pertanyaan terpentingnya, Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba – tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba – tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?

Tidak ada seorang sufi pun yang bisa memberikan penjelasan yang memuaskan. Mereka menggeleng, hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan pemuda itu berangkat ke salah saru lereng gunung. Di sana tinggal salah satu sufi besar, ribuan muridnya, bijak orangnya, mungkin dia tau jawabannya. Dia bergegas mengemas ransel, berangkat siang itu juga. 

Pemuda itu menemui Sang guru yang menerimanya dengan ramah dan memberikan kesempatan bertanya. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Sang Guru terdiam lama, menggeleng, berkata bahwa pemuda itu memberikan pertanyaan yang dia tidak tahu. Tidak ada orang di dunia yang bisa mengjawabnya. Pemuda itu mendesah kecewa, kemana lagi harus mencari tahu. Sang guru menatapnya lamat-lamat, berpikir sejenak. Kemudian, pemuda itu berkata mantap, apa yang harus dilakukan.

Sang Guru tersenyum dan memberikannya pekerjaan teraneh. Seratus mil dari situ, terdapat tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan itu butuh sumber air berupa danau. Sang Guru menyuruh pemuda itu membuat danau di tanah luas itu dan berkata ketika berhasil membuat sebuah danau indah yang jernih bagai air mata, dia akan mendapatkan jawaban hakikah sejati kebahagiaan.

Pemuda itu mengangguk mantap. Dia sudah menduga kebahagiaan sejati seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi dan sepertinya tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku atau bertanya. Pemuda itu berangkat dan memulai pekerjaan besar, membuat danau yang cukup untuk satu kampung.

Tidak berbilang tanah yang harus dipindahkan. Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari tenggelam. Pemuda itu baru berhenti saat galian memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan itu baru separuh selesai. Kemudian, dia membuat parit – parit dari mata air yang ada di hutan, mengalirkan ke lubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Dia tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau buatan ini telah sebening air mata.

Sesuai janji, Sang Guru datang menjenguk pada hari yang ditentukan. Sialnya, malam sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air di hutan menjadi kotor. Pemuda itu yang sebelumnya semangat mengajak Sang Guru ke tepi danau mendesah kecewa. Lihat, danau buatan itu jauh dari bening, berubah keruh. Sang Guru menepuk bahu pemuda itu dan berkata agar tidak putus asa. Tahun depan Sang Guru akan kembali.

Setelah memikirkan jalan keluarnya, pemuda itu memutuskan membuat saringan di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba di danau. Dia mengerjakan dengan senang hati, memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumber yang bermasalah. Sedikit saat ada air keruh masuk, danau sekristal air mata langsung tercemar.

Setahun berlalu lagi, Sang Guru datang menjenguk. Danau buatan itu indah tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas permukaan danau seperti nyata. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Pemuda itu berseru, mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk-nepuk bahu pemuda lalu berkata untuk memikirkan lagi.

Pemuda itu diam, menarik napas pelan dan memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Dua berlalu, dia masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru datang, melihat dengan takzim pemuda yang sibuk bekerja. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang malah, akhirnya berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela bebatuannya. Dia tertawa senang. Semua parit ditutup. Danau itu sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.

Sang guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening meski ada air dari parit yang bocor dan sejenak membuat keruh.

~~~

Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup. Hakikat itu berasal dari hati kita sendiri. Bagaimana kita membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kita dangkal, hati kita seketika keruh berkepanjangan.

Berbeda halnya jika kita punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kita mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kita bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kita lapang dan dalam. Sementara orang yang hatinya dangkal, sempet, tidak terlatih, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar